“Haiii… saya lihat kamu sekarang semakin cantik lho, tampak bersinar, makin muda, dan bercahaya. Kamu juga makin inspiratif. Aku ngikutin medsosmu, jadi tahu betul apa saja kiprahmu.”

Begitulah, obrolan spontan sore itu di acara reuni terbatas teman-teman kuliahku. Saat itu kami bertemu dengan seorang teman, yang beberapa waktu lalu sedang mengalami situasi berat, terkait hubungan rumah tangga yang menyerap energi dan emosinya.
Kami, hampir semua yang hadir di acara sore itu mengetahui kondisinya, karena kami memang cukup dekat. Biasa saling curhat dan menceritakan situasi kami masing-masing. Dia yang sedang menjadi pusat perhatian senyum-senyum tersipu mendapatkan pujian dari berbagai arah.
Tak heran jika banyak teman yang dibuat takjub oleh penampilannya sore itu. Ekspresinya menyiratkan kebahagiaan dari dalam, walaupun beberapa bulan lalu masih terlihat kedua matanya yang sembab saat menceritakan pengalaman pahitnya yang harus berpisah dengan suami.
Selain itu, ia harus membiayai hidupnya sendiri dengan ketiga anaknya. Saat itu ia bilang sepertinya semua mimpinya hancur berantakan, hanya anak-anak yang memberikannya energi untuk melanjutkan kehidupan.
Namun ternyata ia bisa melewati badai rumah tangganya dengan baik dan bahkan melenting lebih tinggi. Mampu menyelesaikan pendidikan doktoralnya dan memberikan manfaat lebih luas pada dunia pendidikan yang ia geluti.
Ia bahkan tidak hanya sekedar menjalani hidup, namun ia mewujudkan berbagai mimpi yang sempat tertunda. Kami semua bertanya-tanya, sebenarnya apa yang teman saya lakukan sehingga ia mampu melenting dan membuat banyak orang terkagum melihatnya.
Baca juga : The Next Level of Leadership
Seni untuk Melepaskan ~
Ia menyampaikan bahwa, semuanya menjadi lebih ringan dijalani, saat ia telah mampu “melepaskan” hal-hal yang semula ia “pertahankan”, yaitu pernikahan dan hubungan dengan suaminya yang sebenarnya selama ini tidak “sehat”. Selama ini ia terbebani oleh permasalahan yang ia anggap harus terus dipertahankan, dan ketika ia ikhlaskan, let it go…
Sekarang ia malah mendapatkan lebih banyak karunia yang sebelumnya tidak ia sadari. Ia pun menunjukkan karakternya pada khalayak bahwa ia mampu melewati dengan baik permasalahan yang dihadapi. Tak hanya itu, bahkan ia baru saja diamanahi tugas memimpin beberapa organisasi.
Pertemuan kami sore itu benar-benar membuka mata kami bahwa perempuan, yang di luarnya tampak lemah namun menyimpan kekuatan yang luar biasa di dalamnya. Seorang perempuan dikaruniai segenap kekuatan dan kemampuan untuk melewati seberat apapun masalah yang dihadapi.
Anda mungkin juga pernah menjumpai dan menyaksikan sendiri pengalaman serupa. Bahkan terkadang kita tidak habis dibuat takjub oleh semangat luar biasa yang ditunjukkan perempuan dalam menjalani hidupnya yang tak mudah, dalam memperjuangkan mimpi-mimpinya, dan dalam menginspirasi orang lain.
Dalam sudut pandang saya, inilah mungkin yang menyebabkan pemimpin-pemimpin perempuan menjadi istimewa. Semangat membara yang tak mudah padam, yang ada dalam dada para perempuan. Rasanya disinilah kepemimpinan perempuan bermula.
Kalau menurut Anda, apa yang menjadikan perempuan sukses dalam menjalankan peran kepemimpinannya?

Pelajari juga : 35 Powerful Coaching Questions for Leader
Tantangan Kepemimpinan Kaum Hawa
Penelitian yang dilakukan oleh Profesor Susan Madsen yang melakukan studi terhadap perkembangan woman leader, menunjukkan bahwa ada kesamaan pada woman leader ini yang menarik untuk diperhatikan. Para woman leader ini tumbuh dari lingkungan keluarga yang serupa. Dari orang tua yang mendorong anak-anaknya berbicara dan menyampaikan pendapat serta didorong untuk mendengarkan orang lain dengan cermat.
Selain itu, kebanyakan woman leader juga tumbuh dalam kerja tim yang mengajarkan sportivitas. Madsen menambahkan bahwa pendekatan yang dilakukan perempuan berbeda dengan laki-laki dalam memimpin. Perempuan secara umum lebih kolaboratif, pendengar, serta pengamat yang baik. Dalam kepemimpinannya, perempuan membawa isu yang berbeda dibandingkan laki-laki.
Namun berbagai tantangan rupanya dihadapi perempuan ketika akan menapaki tangga kepemimpinan, terutama dalam karirnya di ranah publik. Ada karakteristik yang menjadi hambatan perempuan dalam menjadi pemimpin yaitu kecenderungan merasa kurang percaya diri dalam memimpin dibandingkan laki-laki.
Aspirasi perempuan untuk memimpin tidak setinggi laki-laki, karena sifat perfeksionis pada perempuan. Jika diilustrasikan, laki-laki dengan 50-60% kompetensi akan melamar menjadi kandidat pemimpin, sementara perempuan akan maju menjadi kandidat pemimpin publik jika hampir sempurna memiliki pengetahuan dan kemampuan 90-100%.

Tantangan lain yang dihadapi perempuan adalah isu kesetaraan gender. Hal ini semakin menarik perhatian berbagai kalangan di era digital ini. Tantangan menuju kesetaraan ini masih perlu terus diperjuangkan, jika tidak dapat dikatakan diselesaikan.
Sejak beberapa tahun terakhir, beragam diskusi dan penelitian mengenai berbagai persoalan yang mengangkat tema gender telah dilakukan, termasuk berbagai persoalan kepemimpinan perempuan dan gender dalam ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), pandangan bahwa semua orang menerima perlakuan yang setara dan tidak didiskriminasi berdasarkan jenis kelamin, diduga belum sepenuhnya dapat diimplementasikan dengan baik di berbagai lini kehidupan. Hal ini tak hanya terjadi di Indonesia, namun terjadi di berbagai belahan bumi.
Selain itu, hasil riset McKinsey pada tahun 2018 menyebutkan, jumlah lulusan perguruan tinggi di Indonesia hampir setara antara laki-laki dan perempuan. Namun, saat mereka bekerja, hanya ada sekitar 20% posisi middle management yang diisi oleh perempuan. Makin ke atas, jumlahnya semakin menurun hingga tersisa 5% pada posisi Chief Executive Officer (CEO) yang diduduki oleh perempuan.
Secara regional, saat ini kepemimpinan perempuan juga merupakan elemen penting di Asia. Di level internasional, PBB bersama UN Woman mencanangkan Planet 50:50 pada 2030. Pencanangan program ini untuk membawa perempuan setara dengan laki- laki dan semakin banyak pemimpin perempuan.
Terkait hal ini, Indonesia merupakan salah satu negara yang terpilih dari 10 negara yang disiapkan dalam rangka menuju Planet 50:50 pada 2030 tersebut. Namun demikian, pada saat yang bersamaan berbagai persoalan dan tantangan dihadapi oleh para perempuan, antara lain konflik sosial yang menyebabkan:
- Perempuan dan anak menjadi korban
- Meningkatnya radikalism
- Diskriminasi perempuan atas nama agama dan moralitas
- Kemiskinan berwajah perempuan
- Kekerasan terhadap perempuan dan anak
- Meningkatnya risiko terhadap perubahan iklim
- Perubahan keluarga dalam era urbanisasi dan globalisasi, migrasi dan mobilitias penduduk dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
- Tantangan menghadapi perubahan teknologi 4.0
Presiden Jokowi, sebagai salah satu Impact Champion pada Program PBB yang bertajuk He for She, yaitu program yang mendorong negara-negara di dunia untuk meningkatkan kesetaraan gender; menyatakan bahwa Indonesia berkomitmen mencapai setidaknya 30% keterwakilan wanita di parlemen dan meningkatkan representasi wanita dalam proses pengambilan kebijakan lainnya. Komitmen itu ditunjukkan di antaranya lewat peningkatan jumlah wanita yang menempati posisi Menteri di Kabinet Kerja.
Gender menurut Doyle (1997) adalah konsep yang digunakan untuk menggambarkan perbedaaan laki-laki dan perempuan secara sosial budaya. Perbedaan ini mengacu kepada unsur emosional dan kejiwaan, sebagai karakteristik sosial yang menjelaskan bahwa hubungan laki-laki dan perempuan dikonstruksikan sehingga berbeda antara tempat dan waktu.
Misalnya perempuan dikenal sebagai makhluk lemah lembut, cantik, emosional dan keibuan sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Padahal ciri-ciri tersebut merupakan sifat yang dapat dipertukarkan karena ada juga laki-laki yang mempunyai sifat emosional, lemah lembut, keibuan dan perempuan memiliki sifat kuat, rasional serta perkasa (Fakih, 1996).

Pandangan ini berdampak pada munculnya stereotype yang mengakibatkan munculnya diskriminasi bagi perempuan. Eagly dan Johnson (1990) melakukan meta analisis mengenai gender dan gaya kepemimpinan yang menyimpulkan bahwa gaya kepemimpinan perempuan lebih demokratis dibanding pria dalam lingkungan organisasi yang sama. Perbedaan jenis kelamin ini dilatari oleh perbedaan pria dan wanita dalam hal kepribadian dan keterampilan kerjanya.
Sejumlah studi memperlihatkan bahwa terdapat perbedaan-perbedaan inheren dalam gaya kepemimpinan laki-laki dan perempuan. Perempuan dalam kepemimpinan cenderung lebih demokratik. Mereka mendorong partisipasi, berbagi kekuasaan dan informasi dan mencoba untuk meningkatkan kemanfaatan bagi pengikutnya.
Mereka cenderung memimpin melalui pelibatan atau pemberdayaan dan mendasarkan pada kharisma, keahlian, kontak, dan keahlian interpersonal dalam mempengaruhi orang lain. Sebaliknya laki-laki cenderung lebih menggunakan gaya kepemimpinan yang mendasarkan pada kontrol dan perintah, mereka lebih mendasarkan pada jabatan otoritas formal sebagai dasar baginya untuk melakukan pengaruhnya (Sudaryono, 2014).
Di masa sekarang banyak bermunculan perempuan sebagai pemimpin dalam berbagai bidang. Peran perempuan pada era globalisasi pola kehidupan telah membawa perubahan dalam perkembangan pembangunan. Saat ini, perempuan menyandang beragam peran, tidak lagi hanya berperan pada ranah domestik semata, namun telah bertransformasi pada pemanfaatan kualitas eksistensinya selaku manusia.
Di Indonesia kita tak asing lagi dengan kiprah Ibu Tri Rismaharini yang pernah menjabat sebagai Walikota Surabaya. Ia adalah kepala daerah perempuan pertama di Indonesia yang beberapa kali masuk dalam daftar pemimpin terbaik dunia. Karakter diri yang otentik dalam memimpin, menjadikannya sosok pemimpin perempuan yang banyak dikagumi dan berprestasi.


Sedangkan di kancah internasional, kita mengenal Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern. Perdana Menteri termuda sejak terbentuknya Negara Selandia Baru, sekaligus menjadi pemimpin termuda dunia. Ia muncul dengan berbagai kebijakan yang dipandang sebagai prestasi.
Di bawah kepemimpinannya, Selandia Baru terbebas dari Virus Corona. Selain itu, kebijakannya dalam merespon penembakan di Masjid Christchurch dengan memperketat kepemilikan senjata api membawa simpati padanya.
Dalam menjalankan kiprah kepemimpinan, Ibu Risma dan Jacinda Ardern tentu tak lepas dari tantangan kepemimpinan seorang perempuan. Namun mereka mampu mengelola dengan baik dan memerankan diri pada dua ranah tersebut dengan baik.
Baca juga : Leader as a Coach Membangun Koneksi Dalam Tim
Bagaimana dengan Anda Para Woman Leader?
Apa tantangan yang Anda hadapi untuk menunjukkan sisi kepemimpinan terbaik dari diri Anda?
Kemampuan leadership apa yang dapat Anda tingkatkan dari kesulitan-kesulitan yang Anda hadapi?
Apa yang mendorong Anda untuk lebih menginspirasi daripada saat ini?

Woman leader, selanjutnya saya ingin mengajak Anda untuk merefleksikan kembali insight apa saja yang Anda dapat dari artikel ini. Apa langkah kecil yang akan Anda mulai untuk meningkatkan kemampuan leadership Anda? Sesuatu aksi konkret yang memampukan Anda menjadi woman leader dan menginspirasi orang di sekeliling Anda.
Kita bisa belajar dan memberikan pembelajaran dari apapun di sekeliling kita, termasuk dari pengalaman orang lain maupun artikel yang kita baca. Yuk, menginspirasi melalui insight yang Anda peroleh dari artikel ini. Anda bisa sharing pada kolom komentar di bawah ini atau melalui postinga di media sosial Anda mengenai insight yang Anda dapat dari artikel ini.
“The ability to learn is the most important quality a leader can have.”
Padmasree Warrior (CEO & Founder, Fable)
By : Feby Dwiardiani (Points of You Tribe)