by : Ina Istiana
Kalau mendengar kata work-life balance, well-being, karyawan makmur – kira kira faktor apa yang melatarbelakangi agar kegiatan itu semua bisa tercapai?
“Oh pasti gajinya gede tuh, makanya bisa jalan jalan”
source: tools Punctum Points of You
Ga bener dan ga salah sih – karyawan bisa makmur ya salah satunya dari compensation dan benefit yang ia dapat dari hasil kerjanya.
Tapi apakah gaji jadi satu-satunya faktor agar seorang karyawan termotivasi dalam bekerja? Tidak selalu. Mungkin Anda para HR juga mumet mikirin tentang ini. Yuk kita coba breakdown satu per-satu
Menurut Anda apa jadinya jika tim Anda atau bahkan Anda sendiri tidak memiliki value dalam bekerja? Padahal value ibarat generator yang membuat Anda terus bergerak, menghidupi pekerjaan Anda. Coba Anda renungkan, sebagai Leader atau jika Anda sebagai praktisi HR
Sudah tahukah masing-masing value karyawan Anda?
Jangan-jangan mereka selama ini merasa “tidak berdaya” karena value yang dianut tidak selaras dengan milik perusahaan. Nah, disinilah pentingnya– gabungan antara value pribadi karyawan itu sendiri dan company culture, kalau udah nyangkut sama value personal biasanya udah ga bisa diganggu gugat.
source: dokumentasi pribadi – tools Speak Up
Contohnya ada programmer muda sebut saja Rian, dia bekerja di sebuah startup teknologi yang bergerak di bidang pengembangan aplikasi edukasi. Saat pertama kali bergabung, Rian sangat antusias dengan visi dan misi perusahaan yang ingin meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia melalui teknologi. Budaya kerja di perusahaan pun terkesan dinamis dan kreatif, yang sangat disukai oleh Rian.
Namun, seiring berjalannya waktu, Rian mulai merasa gelisah dengan beberapa praktik yang dilakukan oleh perusahaan. Dia melihat bahwa perusahaan lebih memprioritaskan keuntungan daripada nilai edukasi yang ingin disampaikan. Contohnya, tim produksi seringkali didorong untuk mengeluarkan fitur baru dengan cepat tanpa memperhatikan kualitas dan kegunaannya bagi pengguna. Ternyata company tersebut memiliki budaya kerja yang sangat kompetitif dan berorientasi pada hasil. Para karyawan dituntut untuk bekerja lembur dan menyelesaikan tugas-tugas mereka dengan cepat dan efisien. Ini adalah contoh bahwa perusahaan memiliki company culture yang berbeda dengan value pribadi Rian
source: kartu kata Punctum Points of You
Dalam hal ini, HR punya peran kritis dalam organisasi. HR tidak hanya dituntut sebagai HR tradisional (personalia), tetapi HR harus bertransformasi dari tradisional menjadi transaksional (rekrutmen, training & development, industry relation, compensation & benefit). Kemudian, bertransformasi lagi menjadi HR transformasional (penerapan HR Business Partner).
Lantas, apa yang seharusnya dilakukan HR agar karyawan seperti Rian ini merasa tetap berdaya dan menemukan makna dalam posisi pekerjaannya sekarang?
source: dokumentasi pribadi – tools Speak Up
Semenjak pandemi HR dituntut untuk kreatif menemukan cara supaya seluruh karyawan tetap align. Sebagai HR Business Partner, tentu harus punya skill khusus, ada transferable skill yang harus dimiliki. Jika HR tradisional harus ahli dalam administrasi, HR transformasional harus paham semua spektrum. Tambahan nilai lain adalah memiliki cara kreatif dalam memberdayakan karyawan sehingga bisa membantu organisasi maju ke depan.
Maka inilah cara yang dapat kami sharingkan ke Anda.
“𝘏𝘢𝘱𝘱𝘪𝘯𝘦𝘴𝘴 𝘪𝘴 𝘸𝘩𝘦𝘯 𝘸𝘩𝘢𝘵 𝘺𝘰𝘶 𝘵𝘩𝘪𝘯𝘬, 𝘸𝘩𝘢𝘵 𝘺𝘰𝘶 𝘴𝘢𝘺, 𝘢𝘯𝘥 𝘸𝘩𝘢𝘵 𝘺𝘰𝘶 𝘥𝘰 𝘢𝘳𝘦 𝘪𝘯 𝘩𝘢𝘳𝘮𝘰𝘯𝘺.”
– 𝘔𝘢𝘩𝘢𝘵𝘮𝘢 𝘎𝘢𝘯𝘥𝘩𝘪
Kebetulan bulan lalu kami juga berkesempatan memfasilitasi 𝐓𝐡𝐞 𝐔𝐎𝐁 𝐖𝐚𝐲 𝐟𝐨𝐫 𝐏𝐞𝐨𝐩𝐥𝐞 𝐌𝐚𝐧𝐚𝐠𝐞𝐫 yang fokus membahas tentang company culture dan diikuti oleh para Leaders.
Sangat penting bagi perusahaan untuk menanamkan company culture pada karyawan, tujuannya agar value antara perusahaan dan karyawan bisa align satu sama lain. Seperti kalimat Mahatma Gandhi, jika semuanya selaras maka akan tercipta suatu harmoni. Training yang kami lakukan adalah menggunakan visual coaching tools berbentuk kumpulan kartu foto-foto dan kata.
Speak Up Tools
Menurut penelitian manusia pada dasarnya adalah makhluk visual, mereka bisa menangkap gambar 60.000 kali lebih cepat daripada tulisan, dan 90% info yang diserap akan diubah menjadi visual dalam otak (imagining). Itulah mengapa visual coaching tools menjadi salah satu yang powerful dan dapat menjadi salah satu weapon bagi HR dalam melakukan people development.
Di UOB kemarin, kami mengajak para leader untuk mencari tahu apa sebenarnya value mereka dan makna posisi ini untuk dirinya. Mereka menuliskannya dalam lembar coaching framework dan nantinya akan dikoneksikan dengan value perusahaan– kira kira value mana yang cocok atau paling mendekati
source: pribadi (The UOB Way for People Manager)
Dengan teknik facilitating, suasana kelas sangat dinamis dan aktif, salah satu kelebihan visual coaching tools selain gambarnya yang menarik juga membuat audience bergerak seperti sharing foto dengan proses buddy maupun kelompok, memilih kartu mana yang mau diambil, serta proses coret mencoret dalam lembar framework coaching (order buku kumpulan framework coaching di sini!) merupakan kegiatan kinestetik.
source : gambar lembar framework coaching
Kemudahan akses untuk sharing dan brainstorming inilah yang kadang terlewat dan tidak disadari oleh HR dalam “memberdayakan” karyawan. Prosesnya sering terkesan kaku dan monoton, sehingga timbullah rasa tak nyaman saat dipanggil HR– serasa hendak dihakimi.
source: pribadi (The UOB Way for People Manager)
Teknik fasilitasi seperti pengalaman kami di atas bisa Anda jadikan referensi. Berikut beberapa key points yang dapat Anda pelajari dalam memberdayakan tim
- Connecting with Organization Needs: Pertama, pahami tujuan organisasi dan alasan pemakaian visual coaching tools seperti Speak Up. Ketika ingin set up program harus paham isu yang Audience/Klien bawa.
- Understanding the Audience: Audience belum tentu familiar dengan visual coaching tools. Kita set up agar audience mengenal tools tersebut sehingga tidak menciptakan suasana yang canggung.
- Preparation is Key: Setiap workshop tentu kurang maksimal jika tidak adanya preparation. Pastikan tools-nya ada, termasuk room set up supaya Audience bisa berproses dengan nyaman. Participant booklet juga harus tersedia agar peserta bisa mencatat apa yang mereka dapat. Siapkan 1 layout chart sebagai “peta visual” yang memandu proses mereka.
- Focus on Simplicity: Buat pertanyaan yang sederhana saja.
- Practice Makes Perfect: Proses berulang akan membuat Anda mendapatkan insight untuk periode selanjutnya.
- Follow Up: Follow up wajib dilakukan agar insight tidak berakhir sia-sia.
Dari proses di atas Anda bisa menemukan value mana saja yang cocok dengan company culture Anda.
Keselarasan value pribadi dan company culture bagaikan kunci dan gembok yang pas, membuka pintu menuju makna dan tujuan dalam bekerja.
So, what is your purpose and meaning at work?
Selamat mencoba, jika ingin tahu proses dan tekniknya lebih detail bisa terkoneksi dengan kami di sini ya